Rabu, 13 Mei 2009

Prinsip Pembelajaran yang Mendidik

Tujuan utama pembelajaran adalah mendidik peserta didik agar tumbuh kembang menjadi individu yang bertanggung jawab dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Di dalam Undang-Undana Nomor 20 Tahun 2003 (UU No.20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan di dalam Pasal 1 ayat 1 bahwa ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengem-bangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Berdasarkan bunyi pasal 1 ayat 1 UU No. 20/2003 tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan proses pembelajaran yg diarahkan ke perkembangan peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, angsa dan negara. Pencapaian tujuan pendidikan tersebut hendaknya dilakukan secara sadar dan terencana, terutama dalam hal mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri yang dimilikinya.

Peserta didik hendaknya menjadi pusat pembelajaran, karena yang melakukan kegiatan belajar adalah peserta didik, bukan guru. Hal esensial yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran berkenaan dengan pengertian belajar, khususnya tentang perubahan tingkah laku dan pemodifikasian tingkah laku yang baru. Perlu diketahui, menurut Teori Belajar Behaviorisme, tingkah laku baru merupakan hasil pomodifikasian tingkah laku lama, sehingga tingkah laku lama berubah menjadi tingkah laku yang lebih baik. Perubahan tingkah laku di sini bukanlah perubahan tingkah laku yang terbatas melainkan perubahan tingkah laku secara keseluruhan yang telah dimiliki oleh seseorang. Hal itu berarti perubahan. Tujuan utama pembelajaran adalah mendidik peserta didik agar tumbuh kembang menjadi individu yang bertanggung jawab dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Pencapaian tujuan pendidikan hendaknya dilakukan secara sadar dan terencana tingkah laku itu menyangkut perubahan tingkah laku kognitif, tingkah laku afektif, dan tingkah laku psikomotor.

Pada prinsipnya, dalam pembelajaran yang mendidik hendaknya berlangsung sebagai proses atau usaha yang dilakukan peserta didik untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu beriteraksi dengan lingkungannya. Perubahan tingkah laku yang terjadi dalam diri individu banyak ragamnya baik sifatnya maupun jenisnya. Karena itu tidak semua perubahan dalam diri individu merupakan perubahan dalam arti belajar. Hasil belajar peserta didik dalam proses pembelajaran yang mendidik berupa perubahan tingkah laku yang disadari, kontinu, fungsional, positif, tetap, bertujuan, dan komprehensif.

Rancangan penerapan pembelajaran yang mendidik yang disusun sesuai dengan prinsip dan langkah perencanaan pembelajaran yang tepat hendaknya dapat menghasilkan perubahan dalam diri peserta didik. Beberapa ciri perubahan dalam diri peserta didik yang perlu diperhati- kan guru antara lain:
a. Perubahan tingkah laku harus disadari peserta didik.
Setiap individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan tingkah laku atau sekurang-kurangnya merasakan telah terjadi perubahan dalam dirinya.
b. Perubahan tingkah laku dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
Perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis
c. Perubahan tingkah laku dalam belajar bersifat positif dan aktif.
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan senantiasa bertambah dan tertuju pada pemerolehan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar dilakukan makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri.
d. Perubahan tingkah laku dalam belajar tidak bersifat sementara.
Perubahan yang bersifat sementara atau temporer terjadi hanya untuk beberapa saat saja,tidak dapat dikategorikan sebagai perubahan dalam arti belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Itu berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.
e. Perubahan tingkah laku dalam belajar bertujuan.
Perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.
f. Perubahan tingkah laku mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika individu belajar sesuatu, sebagai hasilnya mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya. Jadi aspek perubahan tingkah laku berhubungan erat dengan aspek lainnya.

Pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan sebagai tujuan pembelajaran yang mendidik. Pada umumnya belajar seringkali diartikan sebagai perolehan keterampilan dan ilmu pengeta- huan. Pengetahuan mutakhir proses belajar diperoleh dari kajian pengolahan informasi, neuro- fisiologi, neuropsikologi dan sain kognitif. Forrest W. Parkay dan Beverly Hardeastle Stanford (1992) menyebut belajar sebagai kegiatan pemrosesan informasi, membuat penalaran, mengembangkan pemahaman dan meningkatkan penguasaan keterampilan dalam proses pem- belajaran. Pembelajaran, diartikan sebagai upaya membuat individu belajar, yang dirumuskan Robert W. Gagne (1977) sebagai pengaturan peristiwa yang ada di luar diri seseorang peserta didik, dan dirancang serta dimanfaatkan untuk memudahkan proses belajar. Pengaturan situasi pembelajaran sebelum pelaksanaan pembelajaran biasanya disebut management of learning and conditions of learning.

Senin, 27 April 2009

Strategi Pembelajaran

Landasan psikologis strategi pembelajaran pada dasarnya meliputi aliran psikologi tingkah laku (behaviorism) dan aliran psikologi kognitif (kognitivism). Sekitar tahun 1913 Thorndike (Slavin, 1994, Elliott, dkk, 2000) mengemukakan bahwa cara belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama. Belajar dapat terjadi kalau ada
stimulus. Karena itu teori belajar ini disebut teori stimulus dan respon (S-R). Dalam pembelajaran di sekolah teori ini banyak digunakan. Guru mengajukan pertanyaan (S), Siswa menjawab pertanyaan guru (R). Guru memberi PR (S), siswa mengerjakannya (R), Dengan demikian belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya, sehingga paham ini disebut paham koneksionism.
a. Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Menurut hukum kesiapan, hubungan antara stimulus dan respon mudah terbentuk kalau ada kesiapan pada diri seseorang. Siswa akan mudah mempelajari perkalian kalau ia telah menguasai penjumlahan. Anak usia satu tahun akan mudah belajar berjalan kalau otot-otot kakinya telah kuat untuk menahan berat badannya. Secara rinsi hukum kesiapan itu meliputi :
1) Jika seseorang telah siap merespon atau bertindak, maka tindakan atau respon yang dilakukan akan memberi kepuasan, dan akan mengakibatkan orang tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan lain.
2) Jika seseorang memiliki kesiapan untuk merespon, tetapi kemudian tidak dilakukan, maka hal itu dapat mengakibatkan ketidakpuasan, dan akibatnya orang tersebut akan melakukan tindakan-tindakan lain.
3) Jika seseorang belum mempunyai kesiapan merespon, maka respon yang diberikan akan mengakibatkan ketidakpuasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberhasilan belajar seseorang sangat bergantung pada ada tidaknya kesiapan.
b. Hukum Latihan (Law of Exercise)
Hukum latihan ini menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan menjadi lebih kuat karena latihan. Hubungan antara stimulus dan respon itu menjadi lemah karena latihan tidak diteruskan atau dihentikan. Implikasi hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka pelajaran itu akan semakin dikuasai. Kalau pelajaran itu tidak pernah diulang-ulang maka pelajaran itu akan dilupakan.
c. Hukum Akibat (Law of Effect)
Hukum ini menyatakan bahwa suatu tindakan yang diikuti oleh akibat yang menyenangkan akan cenderung diulang-ulang, sebaliknya kalau tindakan itu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan maka tindakan itu cenderung kurang diulangi lagi. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapkan agar siswa mau mengulangi respon yang sama, maka siswa itu harus diusahakan agar merasa senang, misalnya dengan cara memberi hadiah atau pujian. Sebaliknya, apabila kita menghendaki agar siswa tidak mengulangi respon yang tidak baik, maka ia harus diberi sesuatu yang tidak menyenangkan, misalnya siswa itu diberi hukuman.
d. Transfer Latihan (Transfer of Training)
Menurut Thorndike apa yang pernah dipelajari anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal-hal lain di masa yang akan datang. Implikasinya bagi pembelajaran adalah bahwa apa yang dipelajari siswa di sekolah harus berguna dan dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Contoh, siswa di sekolah belajar membaca, maka keterampilan membaca yang telah dikuasainya itu harus dapat digunakan di luar sekolah. Walaupun di sekolah tidak diajarkan cara membaca petunjuk pemakaian obat, tetapi dengan keterampilan membaca yang diperoleh selama bersekolah, ia bisa membaca petunjuk pemakaian obat, membaca surat kabar, majalah, dan lain sebagainya. Beberapa tahun lamanya, Thorndike (Elliott, dkk. 2000) mempunyai pengaruh yang besar dalam praktek pendidikan karena jasanya dalam meletakkan landasan ilmiah bagi pendidikan. Misalnya, penjelasan tetang transfer belajar masih sangat berarti. Belajar dapat diterapkan terhadap situasi baru hanya jika ada elemen-elemen yang sama dalam kedua situasi misalnya materi belajar yang sama. Thorndike juga berkeyakinan bahwa pengajaran yang baik dimulai dengan mengetahui apa yang anda ingin ajarkan (rangsangan). Anda juga harus mengidentifikasi respon-respon yang ingin anda hubungkan terhadap rangsangan dan saatnya kepuasan yang tepat. Thorndike mengatakan hal ini sebagai berikut : pertimbangkan lingkungan murid, pertimbangkan respon yang ingin anda hubungkan, dan buatlah hubungan itu menyenangkan.
Penerapan di Kelas
Eggen dan Kauchak (1997) mengingatkan untuk memperhatikan baik-baik bentuk belajar fakta yang ditugaskan pada siswa. Beri pengulangan sesering mungkin dan beri drill (latihan) untuk memperkuat hubungan antar fakta itu. Contoh:
a. Guru SD mengambil waktu beberapa menit setiap pagi unuk mengulang fakta-fakta perkalian yang sulit melalui drill sederhana dan kegiatan latihan.
b. Guru sejarah ingin siswa-siswanya mengingat beberapa tanggal dan tahun yang penting. Ia mengidentifikasi tanggal dan tahun itu dan menuliskannya pada suatu hand-out dan menyuruh siswanya menguasainya. Ia mengulang-ulang materi itu secara periodik sebelum ia memberi tes.